Kamis, 04 Juli 2013
aplikasi anti_plagiarism
Kebijakan vs Korupsi
Akhir-akhir ini masalah korupsi
sedang hangat-hangatnya dibicarakan
publik,terutama dalam media
massa baik lokal
maupun nasional. Banyak
para ahli mengemukakan
pendapatnya tentang masalah korupsi ini. Pada dasarnya, ada yang pro ada pula
yang kontra. Akan tetapi walau bagaimanapun korupsi ini merugikan negara dan
dapat merusak sendi-sendi kebersamaan bangsa. Pada hakekatnya, korupsi adalah
“benalu sosial” yang merusak struktur pemerintahan, dan menjadi penghambat
utama terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan pada umumnya.
Dalam prakteknya, korupsi sangat sukar bahkan hampir
tidak mungkin dapat diberantas, oleh karena sangat sulit memberikan
pembuktian-pembuktian yang empirik. Di samping itu sangat sulit mendeteksinya
dengan dasar-dasar hukum yang pasti. Namun akses perbuatan korupsi merupakan
bahaya latent yang harus diwaspadai baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat
itu sendiri. Hal tersebut dibenarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
yang menyatakan tidak mudah memberantas korupsi dalam waktu singkat (Kompas, 28
Maret 2005). Ia beralasan, korupsi di Indonesia merupakan perilaku yang sudah
tumbuh subur di masyarakat sejak dulu. Lebih lanjut dikatakan oleh Yudhoyono
bahwa faktor utama penyebab suburnya korupsi di Indonesia adalah semakin
tipisnya niat dan itikad baik dalam menjalankan setiap amanah yang diberikan.
Inilah faktor utama yang mendorong perilaku korup di tengah-tengah masyarakat
Indonesia.
Korupsi
adalah produk dari sikap hidup
satu kelompok masyarakat yang memakai uang sebagai standard kebenaran dan
sebagai kekuasaaan mutlak. Sebagai akibatnya, kaum koruptor yang kaya raya dan
para politisi korup yang berkelebihan uang bisa masuk ke dalam golongan elit
yang berkuasa dan sangat dihormati. Mereka ini juga akan menduduki status
sosial yang tinggi dimata masyarakat.
Pada umumnya korupsi dilakukan oleh pejabat yang
memiliki wewenang yang penuh terhadap suatu tugas yang diberikan oleh negara.
Sehingga gambaran seorang pejabat di masyarakat kita adalah seorang yang
memiliki sumber daya (uang) dan kekuasaan. Sehingga setiap orang akan berusaha
untuk mencapai jabatan tersebut hanya demi uang dan kekuasaan. Memang suatu hal
yang sangat lumrah dilakukan oleh setiap orang, dimana orang akan berusaha
mencapai suatu puncak karier melalui jabatan yang diembannya. Apalagi jabatan
tersebut memiliki kewenangan yang penuh dan tanpa batas (unlimited power). Kecendrungan yang terjadi pada pejabat tersebut
adalah akan memanfaatkan jabatannya tersebut untuk melakukan hal – hal yang
jauh dari yang seharusnya dilakukan oleh jabatan tersebut. Hal – hal tersebut
antara lain: ada penyuapan untuk menduduki jabatan tersebut, adanya berbagai
kebijaksanaan yang sifatnya subjektif (pendapat pribadi untuk kepentingan
sendiri si pejabat), dan sebagainya.
Dalam tulisan ini, penulis ingin membandingkan salah
satu kewenangan yang selalu dijalankan oleh seorang pejabat yaitu membuat
kebijakan yang dikaitkan dengan perilaku korup oleh pejabat negara. Hal ini
penting karena saat ini penanganan korupsi hanya permukaannya saja, tetapi
tidak menyentuh akar permasalahan dari korupsi itu sendiri.
1.
Pengertian
korupsi
Menurut perspektif hukum, pengertian korupsi secara
gamblang telah dijelaskan dalam pasal-pasal yang terdapat dalam UU No. 31 tahun
1999 yang telah diperbaharui dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi. Sesuai pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan kedalam
3 (tiga) bentuk tindak pidana korupsi, yaitu:
a
Setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara.
b
Setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara.
c
Setiap orang yang memberi hadiah atau
janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang
melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji
dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut
Definisi korupsi secara
etimologis diambil dari kata corruptio dari kata kerja corrumpere yang berarti
busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Menurut Transparency
International¸ korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politisi
maupun pegawai negeri, yang secara tak wajar dan ilegal memperkaya diri atau
memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik
yang dipercayakan kepada mereka. Korupsi menurut Huntington (1968) adalah
perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh
masyarakat, dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi
kepentingan pribadi. Menurut Dr. Kartini Kartono, korupsi adalah tingkah laku
individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk (menggali)
keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum.
Dalam teori yang dikemukakan oleh Jack Bologne atau sering
disebut GONE Theory, bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
korupsi meliputi :
a Greeds (keserakahan) : berkaitan dengan
adanya perilaku serakah yang secara
potensial ada di dalam diri setiap orang.
b Opportunities (kesempatan) : berkaitan dengan
keadaan organisasi atau instansi atau masyarakat yang sedemikian rupa, sehingga
terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan.
c Needs (kebutuhan) : berkaitan dengan
faktor-faktor yamg dibutuhkan oleh individu-individu untuk menunjang hidupnya
yang wajar.
d Exposures (pengungkapan) : berkaitan dengan
tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku
diketemukan melakukan kecurangan.
Bahwa faktor-faktor Greeds dan Needs berkaitan
dengan individu pelaku (actor) korupsi, yaitu individu atau kelompok
baik dalam organisasi maupun di luar organisasi yang melakukan korupsi yang
merugikan pihak korban. Sedangkan faktor-faktor Opportunities dan Exposures
berkaitan dengan korban perbuatan korupsi (victim) yaitu organisasi,
instansi, masyarakat yang kepentingannya dirugikan.
Korupsi, tentu saja berdampak sangat
luas, terutama bagi kehidupan masyarakat miskin di desa dan kota. Awal mulanya,
korupsi menyebabkan Anggaran Pembangunan dan Belanja Nasional kurang jumlahnya.
Untuk mencukupkan anggaran pembangunan, pemerintah pusat menaikkan pendapatan
negara, salah satunya contoh dengan menaikkan harga BBM. Pemerintah sama sekali
tidak mempertimbangkan akibat dari adanya kenaikan BBM tersebut ; harga-harga
kebutuhan pokok seperti beras semakin tinggi ; biaya pendidikan semakin mahal,
dan pengangguran bertambah.
Tanpa disadari, masyarakat miskin telah membayar 2 kali kepada para
koruptor. Pertama, masyarakat miskin membayar kewajibannya kepada negara lewat
pajak dan retribusi, misalnya pajak tanah dan retribusi. Namun oleh negara hak
mereka tidak diperhatikan. Kedua, masyarakat kembali membayar negara untuk
menikmati berbagai fasilitas pelayanan yang disediakan oleh negara kepada
pejabat yang mengawaki pelayanan tersebut. Masyarakat miskin ini yang paling
terkena imbasnya. Karena ketidaktahuan mereka mengenai mekanisme pelayanan
publik yang ada sehingga mereka harus membayar sejumlah uang (lebih banyak)
untuk menikmati pelayanan publik tersebut. Sebagai Contoh paling kasat mata adalah uang
pelicin kepada petugas pembuat Kartu Tanda Penduduk (KTP) agar tidak dipersulit,
hal yang jelas-jelas melanggar hukum ini seolah-olah merupakan hal yang
wajar-wajar saja. Korupsi menyebabkan alokasi sumberdaya tidak optimal. Proyek
jembatan tidak diberikan kepada kontraktor terbaik, jabatan guru tidak
diberikan kepada sosok yang tepat, lisensi HPH hutan diberikan kepada pengusaha
yang tidak capable dan tidak peduli lingkungan, kursi perguruan tinggi tidak
diberikan kepada para siswa terbaik, dll. Resources
misallocation ini menyebabkan kinerja perekonomian tidak optimal. Banyak
proyek pemerintah ataupun bantuan asing untuk rakyat miskin tidak efektif,
karena disunat oleh oknum pejabat pemerintah yang tidak bertanggung jawab.
Dalam banyak kasus korupsi, masyarakat miskin sering menjadi korban karena
ketidak berdayaan mereka yang disebabkan oleh diantaranya:
a .Tingkat pendidikan yang rendah dan
kurangnya pemahaman tentang korupsi & penanggulangannya.
b . Tidak adanya akses terhadap
pelayanan hukum yang appropriate
(layak) bagi mereka
c. Perhatian yang rendah dari aparat
penegak hukum terhadap mereka-mereka yang berasal dari ekonomi tidak mampu.
Di banyak negara, polisi dan pengadilan merupakan salah satu
institusi yang paling korup. Tidak jarang oknum yang bekerja pada kedua
institusi tersebut berkolaborasi dengan kelompok-kelompok kriminal tertentu,
seperti bisnis prostitusi, bisnis judi dan bisnis obat terlarang. Kolaborasi,
yang nyata-nyata merupakan tindakan korupsi ini, membuat pemberantasan
aktifitas kriminal tersebut menjadi sulit. Hal ini juga yang nampaknya terjadi
di Indonesia.
Pada mulanya birokrasi mempunyai konotasi positif yaitu
efisien, rapi & teratur, tetapi saat ini birokrasi mempunyai konotasi
sangat negatif yaitu tidak efisien, korup dan lamban. Perubahan makna ini
terjadi akibat kinerja lembaga pemerintah yang tidak menggembirakan. Birokrasi
membuat orang terpaku pada peraturan yang ada, tidak berfokus pada tujuan yang
hendak dicapai , sehingga sangat sulit ditemukan sosok-sosok kreatif yang bisa
bertahan dijajaran birokrasi kita. Kondisi ini diperburuk dengan korupsi yang
terjadi, sehingga sesuatu yang sudah tidak efisien dan lamban ini menjadi
semakin buruk lagi. Akibatnya posisi sebagai pegawai negeri tidak menarik lagi
bagi sosok-sosok muda yang cerdas dan kreatif, mayoritas mereka lebih tertarik
berkarir di perusahaan swasta.
2.
Pengertian
Kebijakan
Istilah 'kebijakan'
yang dimaksud dalam tulisan ini disepadankan dengan kata bahasa Inggris
'policy' yang dibedakan dari kata 'kebijaksanaan' (wisdom) maupun 'kebajikan'
(virtues). Kebijakan adalah prinsip atau
cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan. Menurut Ealau dan Pewitt (1973), kebijakan
adalah sebuah ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang
konsisten dan berulang, baik dari yang membuatnya maupun yang mentaatinya (yang
terkena kebijakan itu). Titmuss (1974)
mendefinisikan kebijakan sebagai prinsip-prinsip yang mengatur tindakan yang
diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu. Kebijakan, menurut Titmuss, senantiasa
berorientasi kepada masalah (problem-oriented) dan berorientasi kepada tindakan
(action-oriented) dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kebijakan adalah suatu
ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak
yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu.
Selain teori diatas kebijakan pun dapat di definisikan
sesuai dengan teori yang mengikutinya,antara lain yaitu:
a Teori Kelembagaan memandang
kebijakan sebagai aktivitas kelembagaan dimana struktur dan lembaga pemerintah
merupakan pusat kegiatan politik.
b Teori Kelompok yang memandang
kebijakan sebagai keseimbangan kelompok yang tercapai dalam perjuangan kelompok
pada suatu saat tertentu. Kebijakan pemerintah dapat juga dipandang sebagai
nilai-nilai kelompok elit yang memerintah
c Teori Elit memandang
Kebijakan pemerintah sebagai nilai-nilai kelompok elit yang memerintah.
d Teori Rasional memandang
kebijakan sebagai pencapaian tujuan secara efisien melalui sistem pengambilan
keputusan yang tetap.
e Teori Inkremental, kebijakan
dipandang sebagai variasi terhadap kebijakan masa lampau atau dengan kata lain
kebijakan pemerintah yang ada sekarang ini merupakan kelanjutan kebijakan
pemerintah pada waktu yang lalu yang disertai modifikasi secara bertahap.
f
Teori
Permainan memandang kebijakan sebagai pilihan yang rasional dalam
situasi-situasi yang saling bersaing.
g Teori kebijakan yang lain adalah
Teori Campuran yang merupakan gabungan model rasional komprehensif dan
inkremental.
Kebijakan Publik adalah
suatu keputusan yang dimaksudkan untuk tujuan mengatasi permasalahan yang
muncul dalam suatu kegiatan tertentu yang dilakukan oleh instansi pemerintah dalam
rangka penyelenggaraan pemerintahan (Mustopadidjaja, 2002). Pada sudut pandang
lain, Hakim (2003) mengemukakan bahwa Studi Kebijakan Publik mempelajari
keputusan-keputusan pemerintah dalam mengatasi suatu masalah yang menjadi
perhatian publik. Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintah sebagian
disebabkan oleh kegagalan birokrasi dalam memberikan pelayanan dan
menyelesaikan persoalan publik. Kegagalan tersebut adalah information failures,
complex side effects, motivation failures, rentseeking, second best theory,
implementation failures (Hakim, 2002).
Berdasarkan
stratifikasinya, kebijakan publik dapat dilihat dari tiga tingkatan, yaitu:
a kebijakan
umum (strategi),
b kebijakan
manajerial, dan
c kebijakan
teknis operasional.
Selain itu, dari sudut
manajemen, proses kerja dari kebijakan publik dapat dipandang sebagai
serangkaian kegiatan yang meliputi (a) pembuatan kebijakan, (b) pelaksanaan dan
pengendalian, serta (c) evaluasi kebijakan.
Menurut Dunn (1994),
proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas dalam proses kegiatan
yang bersifat politis. Aktivitas politis tersebut diartikan sebagai proses
pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling
tergantung, yaitu (a) penyusunan agenda, (b) formulasi kebijakan, (c) adopsi
kebijakan, (d) implementasi kebijakan, dan (e) penilaian kebijakan. Proses
formulasi kebijakan dapat dilakukan melalui tujuh tahapan sebagai berikut
(Mustopadidjaja, 2002):
a Pengkajian
Persoalan. Tujuannya adalah untuk menemukan dan memahami hakekat persoalan dari
suatu permasalahan dan kemudian merumuskannya dalam hubungan sebab akibat.
b Penentuan
tujuan. Adalah tahapan untuk menentukan tujuan yang hendak dicapai melalui
kebijakan publik yang segera akan diformulasikan.
c Perumusan
Alternatif. Alternatif adalah sejumlah solusi pemecahan masalah yang mungkin
diaplikasikan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
d Penyusunan
Model. Model adalah penyederhanaan dan kenyataan persoalan yang dihadapi yang
diwujudkan dalam hubungan kausal. Model dapat dibangun dalam berbagai bentuk,
misalnya model skematik, model matematika, model fisik, model simbolik, dan
lain-lain.
e Penentuan
kriteria. Analisis kebijakan memerlukan kriteria yang jelas dan konsisten untuk
menilai alternatif kebijakan yang ditawarkan. Kriteria yang dapat dipergunakan
antara lain kriteria ekonomi, hukum, politik, teknis, administrasi, peranserta
masyarakat, dan lain-lain.
f
Penilaian Alternatif. Penilaian
alternatif dilakukan dengan menggunakan kriteria dengan tujuan untuk
mendapatkan gambaran lebih jauh mengenai tingkat efektivitas dan kelayakan
setiap alternatif dalam pencapaian tujuan.
g Perumusan
Rekomendasi. Rekomendasi disusun berdasarkan hasil penilaian alternatif
kebijakan yang diperkirakan akan dapat mencapai tujuan secara optimal dan
dengan kemungkinan dampak yang sekecil-kecilnya.
Ada 2 akibat yang
timbul dari penetapan kebijakan, yaitu:
a
kebijakan yang berorientasi pada
pelayanan public dalam arti sesuai dengan makna demokrasi. Walaupun
sudah berorientasi kepada pelayanan publik tapi bagian ini masih dapat disusupi
oleh adanya kepentingan pribadi.
b
kebijakan yang meracuni public/
kebijakan yang ditetapkan hanya untuk kepentingan beberapa kalangan saja, dan
hal dampak yang kedua ini sangatlah kontraproduktif terhadap nilai-nilai demokrasi.
Hal inilah yang nanti dapat mengakibatkan adanya korupsi dan kolusi. Bentuk
yang paling kecil adalah terjadinya pungutan liar atau penyuapan kepada
pejabat.
3.
Hubungan
Kebijakan dan Korupsi
Di Amerika Serikat, sebuah negara demokrasi yang sudah
sangat mapan, political corruption
merupakan masalah utama. Peran para lobbyist (para pelobi) yang bekerja untuk
kepentingan interest group tertentu sangat mendominasi proses pengambilan
kebijakan publik. Saat ini, di Washington DC terdapat sekitar 30.000 lobylist
yang terdaftar. Mereka secara aktif melobi para anggota senat dan dewan untuk
memperjuangkan kepentingan perusahaan minyak, perusahaan senjata, perusahaan
kimia, perusahaan makanan, dan lain-lain. Dalam proses pemilihan anggota senat,
dewan dan presiden bisa jadi sangat demokratis. Tetapi dalam proses pengambilan
kebijakan belum tentu kepentingan rakyat yang dinomorsatukan.
Kebijakan dan korupsi adalah merupakan dua hal yang saling
berkaitan. Kebijakan ada karena adanya pengambilan keputusan yang dilakukan
oleh seorang pejabat baik itu sesuai prosedur dalam kewenangannya maupun tidak.
Sedangkan korupsi merupakan hasil yang diharapkan oleh seorang pejabat dengan
adanya pengambilan kebijakan tersebut.
Kebijakan yang benar adalah kebijakan yang diambil
berdasarkan proses formulasi pengambilan kebijakan (menurut Mustopadidjaja) yaitu:
a Pengkajian
Persoalan.
Bertujuan
untuk menemukan dan memahami hakekat persoalan dari suatu permasalahan dan
kemudian merumuskannya dalam hubungan sebab akibat.
b Penentuan
tujuan.
Tahapan
untuk menentukan tujuan yang hendak dicapai melalui kebijakan publik yang
segera akan diformulasikan.
c Perumusan
Alternatif.
Alternatif
adalah sejumlah solusi pemecahan masalah yang mungkin diaplikasikan untuk
mencapai tujuan yang telah ditentukan.
d Penyusunan
Model.
Model
adalah penyederhanaan dan kenyataan persoalan yang dihadapi yang diwujudkan
dalam hubungan kausal. Model dapat dibangun dalam berbagai bentuk, misalnya
model skematik, model matematika, model fisik, model simbolik, dan lain-lain.
e Penentuan
kriteria.
Analisis
kebijakan memerlukan kriteria yang jelas dan konsisten untuk menilai alternatif
kebijakan yang ditawarkan. Kriteria yang dapat dipergunakan antara lain
kriteria ekonomi, hukum, politik, teknis, administrasi, peranserta masyarakat,
dan lain-lain.
f
Penilaian Alternatif.
Penilaian
alternatif dilakukan dengan menggunakan kriteria dengan tujuan untuk
mendapatkan gambaran lebih jauh mengenai tingkat efektivitas dan kelayakan
setiap alternatif dalam pencapaian tujuan.
g Perumusan
Rekomendasi.
Rekomendasi
disusun berdasarkan hasil penilaian alternatif kebijakan yang diperkirakan akan
dapat mencapai tujuan secara optimal dan dengan kemungkinan dampak yang
sekecil-kecilnya.
Dengan adanya proses
yang jelas di atas dapat mencegah terjadinya pengambilan kebijakan yang
sifatnya subjektif sehingga dapat berakibat kepada korupsi. Fakta mengungkapkan
dan dapat kita jadikan suatu pendapat sementara bagaimana seorang pejabat yang
memiliki kewenangan penuh misalnya seorang menteri atau bupati dapat masuk ke
dalam penjara setelah hilangnya kekuasaan yang ia miliki. Coba kita bayangkan
bagaimana saat ia memegang jabatan tersebut, tidak ada yang dapat mengungkap
tindak tanduknya dalam melakukan korupsi. Hal ini menandakan bahwa sebuah
jabatan memiliki kekuasaan dan berbagai sumber daya yang dengan kekuasaan dan
sumber daya tersebut dapat “membeli” hukum maupun aturan yang ada. Ketika
pejabat tersebut sudah tidak menjabat lagi, hilanglah sumber daya dan kekuasaan
tersebut.
Kebijakan yang korup
selalu berlindung dibalik produk hukum yang dibuat. Produk hukum yang
mengandung nilai – nilai korupsi pasti tidak bertahan lama. Karena produk hukum
tersebut sarat dengan kepentingan – kepentingan yang sifatnya subjektif si
empunya kekuasaan (pejabat yang lama) sehingga pejabat yang baru merubah semua
tatanan yang ada dalam lembaga/ organisasi negara tersebut. Hal ini
mendatangkan pembiayaan yang cukup besar lagi dari anggaran negara. Perubahan
yang dilakukan oleh pejabat yang baru tersebut tidak lepas juga dari adanya
kepentingan – kepentingan yang sifatnya pribadi. Sehingga muncul suatu adagium
apabila ganti penjabat maka aturannya ganti juga.
Kepentingan yang
sifatnya pribadi di atas adalah kepentingan yang bukan berpihak kepada publik
(masyarakat), tetapi kepentingan yang berpihak kepada diri sendiri, keluarga
ataupun kelompok. Jangan heran di beberapa lembaga pemerintahan saat ini adanya
pegawai yang ingin naik jabatan harus mengadakan pendekatan secara impersonal
kepada istri pejabat yang bersangkutan atau adik kandungnnya sehingga dapat
mengurus untuk naik jabatan/ promosi jabatan. Sistem yang sudah demikian
rasionalnya kembali ke sistem kerajaan yaitu harus membawa upeti kepada raja
melalui keluarga/ kroni – kroninya.
1.
Cara
Menanggulangi Korupsi
Masyarakat saat ini tidak boleh lagi berpangku tangan
melihat kondisi bangsa Indonesia, tidak boleh lagi berpangku tangan membiarkan
bangsa ini semakin jatuh terperosok dalam jurang korupsi. Harus ada tindakan
yang diambil untuk mencegah maupun menanggulangi korupsi yang terjadi di
Indonesia. Hal hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya korupsi
adalah sebagai berikut:
a Melakukan pencegahan yang dimulai
dari diri sendiri maupun dari lingkungan keluarga dari tindakan korupsi.
Pencegahan dari diri sendiri dapat dipupuk dengan keyakinan yang diperoleh dari
keyakinan keagamaan bahwa korupsi adalah hal yang dilarang, korupsi adalah
penyakit yang harus segera disembuhkan jika tidak ingin semakin meluas. Dalam
hal ini peranan orang tua menjadi sangat dominan dalam memberikan contoh kepada
anak-anaknya. Orang tua harus bisa meneladankan yang baik dan menanamkan bahwa
korupsi adalah hal yang harus dihindari.
b Keteladanan seorang pemimpin. Seorang
pemimpin akan menjadi teladan bagi anak buahnya, apa yang dilakukan seorang
pemimpin akan dilakukan juga oleh anak buahnya. Oleh karenanya seorang pemimpin
harus mempunyai komitmen yang tinggi untuk tidak berkompromi dengan apa yang
disebut korupsi dan menunjukkan sikap yang anti korupsi baik secara lisan
maupun dalam tindakan sehari-hari. Jika seorang pemimpin sudah menampilkan
keteladanan yang demikian maka lambat laun korupsi akan berkurang dan dapat
dikurangi sedikit demi sedikit.
Dari sistem penegakan hukum, saat ini pemberantasan korupsi
dilakukan oleh beberapa institusi, yaitu:
a
KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)
b
Kepolisian
c
Kejaksaan
Institusi inilah yang harus benar-benar berkomitmen untuk
melakukan pencegahan dan penindakan terhadap korupsi yang sudah terjadi. Maka
mereka harus menjadi yang pertama-tama terbebas dari korupsi, agar bisa
melakukan penindakan terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh lembaga
lainnya. Perlu diingat bahwa pemberantasan korupsi tidak hanya dapat
dilaksanakan oleh masyarakat dan penegak hukum tetapi juga harus dibarengi
dengan adanya perbaikan sistem.
Kalau berbicara mengenai sistem tentunya kita berbicara
mengenai suatu organisasi (Scott, 1961) yang terdiri dari unsur – unsur yaitu :
a
Bagian-bagian
dalam organisasi merupakan sebuah sistem, berupa individu dan kepribadiannya,
struktur formal, pola interaksi informal, pola status & peranan, lingkungan
fisik pekerjaan. Inilah yang disebut sistem organisasi.
b
Konsep
sistem fokus pada pengaturan, interakis, pola komunikasi dan hubungan antara
bagian-bagian & dinamika hubungan tersebut yang menumbuhkan kesatuan /
keseluruhan.
Menurut Weber organisasi formal memberikan sepuluh ciri
berikut ini :
a Suatu
organisasi terdiri dari hubungan-hubungan yang ditetapkan antara
jabatan-jabatan. Blok-blok bangunan dasar dari organisasi formal adalah
jabatan-jabatan.
b Tujuan
atau rencana organisasi terbagi kedalam tugas-tugas; tugas-tugas organisasi
disalurkan di antara berbagai jabatan sebagai kewajiban resmi.
c Kewenangan
untuk melaksanakan kewajiban diberikan kepada jabatan. Yakni, satu-satunya saat
bahwa seseorang diberi kewenangan untuk melakukan tugas-tugas jabatan adalah
ketika ia secara sah menduduki jabatannya.
d Garis-garis
kewenangan dan jabatan diatur menurut suatu tatanan hierarkis. Hierarkinya mengambil
bentuk umum suatu piramida, yang menunjukkan setiap pegawai bertanggung jawab
kepada atasannya atas keputusan-keputusan bawahannya serta
keputusan-keputusannya sendiri.
e Suatu
sistem aturan dan regulasi yang umum tetapi tegas, yang ditetapkan secara formal,
mengatur tindakan-tindakan dan fungsi-fungsi jabatan dalam organisasi.
f
Prosedur dalam organisasi bersifat
formal dan impersonal – yakni, peraturan-peraturan organisasi berlaku bagi
setiap orang. Jabatan diharapkan memiliki orientasi yang impersonal dalam
hubungan mereka dengan langganan dan pejabat lainnya.
g Suatu
sikap dan prosedur untuk menerapkan suatu sistem disiplin merupakan bagian dari
organisasi.
h Anggota
organisasi harus memisahkan kehidupan pribadi dan kehidupan organisasi.
i
Pegawai dipilih untuk bekerja dalam
organisasi berdasarkan kualifikasi teknis, alih-alih koneksi politis, koneksi
keluarga, atau koneksi lainnya.
j
Meskipun pekerjaan dalam birokrasi
berdasarkan kecakapan teknis, kenaikan jabatan dilakukan berdasarkan senioritas
dan prestasi kerja.
Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh Weber tersebut
ditemukan bahwa adanya pemisahan antara jabatan dan pejabat. Jabatan akan
langgeng dan pejabat akan terus dilakukan pergantian. Kewenangan yang ada
seharusnya melekat pada jabatan bukan pada pejabatnya sehingga akan dapat
dicegah terjadinya kewenangan yang tidak terbatas dalam suatu bidang lembaga
pemerintahan negara.
Seorang pejabat harus melaksanakan tugas yang diemban oleh
jabatannya. Ketika ia melaksanakan sesuatu di luar dari kewenangan jabatannya
maka hal tersebut merupakan penyalahgunaan wewenang yang dapat dimasukkan dalam
unsur pidana korupsi pada tahap awal (belum dapat dipidana karena belum
menimbulkan kerugian keuangan negara). Pelaksanaan yang jelas antara jabatan
dan pejabat dapat mencegah terjadinya tindakan – tindakan korup dari para kroni
maupun kelompok dari si pejabat tersebut.
Korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politisi maupun
pegawai negeri, yang secara tak wajar dan ilegal memperkaya diri atau
memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik
yang dipercayakan kepada mereka. Sedangkan kebijakan adalah suatu keputusan
yang dimaksudkan untuk tujuan mengatasi permasalahan yang muncul dalam suatu
kegiatan tertentu yang dilakukan oleh instansi pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan. Namun terkadang kebijakan tersebut disalahgunakan
oleh beberapa oknum pejabat sehingga kebijakan tersebut merupakan awal dari
adanya perilaku korup dari si pejabat dan kroni – kroninya.
Pemberantasan korupsi tidak hanya dapat dilakukan oleh
masyarakat dan aparat penegak hukum saja tetapi juga perlu dilakukan oleh
pemerintah melalui perbaikan sistem. Kalau kita berbicara mengenai sistem
berarti hal tersebut terkait dengan perbaikan sistem organisasi/ lembaga
pemerintahan.
Langganan:
Postingan (Atom)