Kamis, 10 Februari 2011

KETIDAKADILAN KONSTITUSI TERHADAP MANTAN NAPI DALAM PEMILIHAN UMUM


Tahun 2009 adalah tahun pesta demokrasi bagi bangsa Indonesia. Pada tanggal 9 April 2009 nanti rakyat Indonesia akan memberikan suaranya untuk memilih wakil – wakil nya yang duduk di dewan perwakilan rakyat daerah ( DPRD kabupaten / kotamadya ), dewan perwakilan propinsi ( DPRD propinsi ), dewan perwakilan rakyat ( DPR RI ) dan dewan perwakilan daerah ( DPD ). Tidak hanya berhenti disini saja, pada tanggal 20 Oktober 2009, rakyat Indonesia juga akan memilih Presiden dan Wakil Presiden untuk memimpin bangsa Indonesia ini menuju kepada kesejahteraan abadi dan keadilan social seperti yang dicita – cita oleh UUD 1945 dalam batang tubuhnya.

Pemilihan umum ( pemilu ) adalah salah satu bentuk pelaksanaan demokrasi di Negara kita. Pemilu memilki posisi yang strategis untuk menentukan akan jadi apa bangsa ini 5 ( lima ) tahun ke depan. Sering para elit politik mengatakan bahwa inilah pesta demokrasi bagi rakyat Indonesia.

Kegiatan pemilu yang begitu padat mulai dari tanggal 5 April hingga tanggal 20 Oktober 2009 akan menyita banyak waktu para elit politik dalam menarik simpati rakyat untuk mendapatkan suatu jabatan wakil rakyat atau pemimpin bangsa ini. Secara tidak langsung para elit politik berjuang untuk mendapatkan kekuasaan. Kekuasaan itu diperoleh melalui partai politik maupun melalui cara – cara lain yang dibenarkan/ tidak dibenarkan oleh undang – undang serta bersifat pribadi/ golongan.

Adanya kebebasan dari masyarakt untuk memilih pada saat pemilihan nanti merupakan suatu cirri Negara demokrasi. Seperti kita lihat sekarang adanya para pejabat DPR atau Presiden atau wakil presiden serta mantan pejabat Negara yang menawarkan diri agar dapat menduduki jabatan sebagai wakil rakyat maupun sebagai pemimpin Negara. Pada dasarnya kontrak antara rakyat dengan pihak yang mempunyai wewenang sifatnya atas dasar factor pamrih ( JOHN LOCKE, 1632-1704 ). Bila pihak yang dulu mempunyai wewenang, gagal untuk memenuhi syarat – syarat kontrak, maka warga – warga masyarakat berhak untuk memilih pihak lain.

Pihak lain yang dimaksud disini adalah seseorang atau pasangan lain selain yang saat ini sudah menjabat sebagai presiden dan wakil presiden yaitu Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla. Pada pasal 58 huruf f UU RI No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dinyatakan bahwa persyaratan menjadi calon presiden dan wakil presiden adalah tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih. Hal ini ditegaskan lagi dalam UU RI No. 42 tahun 2008 tentang pemilihan umum presiden dan wakil presiden,  pasal 5 huruf n yaitu tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Kedua isi undang – undang ini bertentangan pasal 23 UU RI No. 39 tahun 1999 ayat (1) setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya. Pasal 58 UU RI No. 32 / 2004 dan Pasal 5 UU RI No. 42/2008 menghilangkan hak manusia dalam berpolitik seperti yang dinyatakan di dalam UU No 39/1999 pasal 23 ayat (1).

Peluang mantan napi ini menajdi terbuka lebar ketika pada hari Selasa tanggal 24 Maret 2009 mahkamah konstitusi menyatakan bahwa mantan napi dapat dipilih dengan cacatan bahwa yang bersangkutan dapat menjelaskan kepada publik mengenai jatidirinya, tidak melakukan perbuatan pidana berulang – ulang dan telah melewati masa adaptasi kembali ke masyarakat sekurangnya 5 ( lima ) tahun. Sekaligus mahkamah konstitusi menyatakan bahwa Pasal 58 UU RI No. 32 / 2004 dan Pasal 5 UU RI No. 42/2008 adalah norma  inkonstitusional bersyarat. ( Kompas, 23 Maret 2009 ).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Saran dan Masukan dari pembaca sangat kami harapkan