Minggu, 24 Oktober 2010

Streotip dalam kehidupan Masyarakat Lampung


Indonesia adalah sebuah masyarakat yang majemuk ( plural society ), yaitu sebuah masyarakat negara yang di bangun oleh sistem nasional dari mempersatukan dan memerintah lebih dari 500 kelompok masyarakat suku bangsa yang tersebar dari sabang sampai merauke menjadi suatu bangsa dalam wadah negara kesatuan republik Indonesia ( Suparlan 2000:1-14 ). Kemajemukan saat ini menjadi sesuatu hal yang paling penting dalam menjaga keutuhan bangsa dan negara. Produk yang ditinggalkan oleh sistem orde baru membuat tindakan masyarakat yang bersifat diskriminatif, kekerasan dan dehumanisasi. Konflik – konflik yangterjadi saat ini dapat kita katakan merupakan produk – produk dari sistem kekuasaan orde baru yang militeristik, sentralistik, dominatif dan hegemonik. Sistem pemerintah yang menganggap bahwa keberagaman adalah sesuatu hal yang dapat meruntuhkan nilai – nilai dari suatu negara kesatuan. Masyarakat harus tunduk pada pemahaman ideologi yang maunya serba seragam dan serba tunggal. Kalau menurut hal saya, yang salah bukan ideologinya karena Pancasila sendiri pada sila ketiga Persatuan Indonesia menyatakan penghormatan terhadap kemajemukan bangsa tersebut, melainkan yang salah adalah pemerintahnya.

Konflik – konflik sosial saat ini perlu ditelaah lebiih jauh  dan cermat. Kasus tahun 1999 yang terjadi di Jakarta adalah merupakan bentuk kekesalan masyarakat terhadap pemerintah. Dapat kita lihat jelas bahwa yang dihancurkan adalah bangunan – bangunan yang memiliki lambang negara contoh kantor – kantor pemerintahan, pos polisi, pos retribusi dan lain – lain sebagainya. Selain itu juga dapat kita lihat bahwa adanya penguasaan terhadap perekonomian indonesia oleh

orang – orang keturunan tionghoa. Adanya stereotip berupa prasangka – prasangka yang negatif kepada keturunan tionghoa tersebut yang membuat kejadian tahun 1999 itu menjadikan masyarakat tionghoa di jakarta menjadi korban. Adanya diskrimatif terhadap pribumi yang dilakukan oleh pemerintah dalam perekonomian negara. Cendrung warga keturunan melakukan suap kepada aparat sedangkan hal yang sama tidak diberikan kepada warga pribumi. Agar tidak mengulang hal tersebut terjadi lagi di berbagai daerah, perlu mengkaji hal – hal yang dapat menimbulkan konflik – konflik sosial di masyarakat. Penulis akan mengkaji stereotipe yang diciptakan oleh suku pendatang terhadap suku lampung di lampung Utara kec. Abung Timur.

Stereotipe adalah pendapat atau prasangka mengenai orang-orang dari kelompok tertentu, dimana pendapat tersebut hanya didasarkan bahwa orang-orang tersebut termasuk dalam kelompok tertentu tersebut. Stereotipe dapat berupa prasangka positif dan negatif, dan kadang-kadang dijadikan alasan untuk melakukan tindakan diskriminatif. Sebagian orang menganggap segala bentuk stereotipe negatif. Stereotipe jarang sekali akurat, biasanya hanya memiliki sedikit dasar yang benar, atau bahkan sepenuhnya dikarang-karang. Sander Gilman menekankan bahwa stereotipe secara definisi tidak pernah akurat, namun merupakan penonjolan ketakutan seseorang kepada orang lainnya, tanpa memperdulikan kenyataan yang sebenarnya.

Masyarakat Lampung Utara terdiri dari  suku bangsa pribumi : suku lampung dan suku bangsa pendatang ( transmigran ) : suku jawa dan suku sunda. Adanya interaksi yang sering menyebabkan mereka tahu sama tahu. Pada mulanya adalah sebuah interaksi yang positif. Saling berusaha dan saling tolong menolong. Sekian lama melakukan interaksi, dapat terlihat bahwa suku bangsa pendatang lebih maju daripada suku bangsa pribumi. Semakin banyak terjadi kontak, isi stereotip semakin jelas dan semakin seragam, tetapi lain halnya dengan etnis hal ini tidak selalu menjadi stereotip positif malah semakin negatif. Rasa kesukubangsaan dari setiap golongan, yang ternyata lebih kuat daripada rasa kebangsaannya, tidak dipengaruhi oleh bertambahnya kontak yang terjadi antara golongan etnis. Bila isi stereotip tentang dua golongan etnis berbeda banyak, akan terjadi gejala kontrastif yaitu bahwa kedua golongan etnis itu akan melihat satu sama lain sangat berbeda, melebihi perbedaan sebenarnya, sebaliknya bila isi stereotip tentang dua golongan sedikit sekali perbedaannya, kedua golongan akan melihat satu sama lain sama ( warnaen,2002:405-406 ). Hal ini tersebut diakibatkan karena suku bangsa pendatang ( jawa, sunda ) lebih tekun dan kerja keras dalam bekerja sedangkan suku pribumi cendrung puas dengan hasil jual tanah dan tidak mau berusaha di luar daripada itu.

Hal – hal yang mendatangkan stereotip negatif bagi suku bangsa pendatang kepada suku bangsa lampung :
1.     Saat ini, banyak tanah yang telah dijual oleh leluhurnya yang telah mati, oleh anak cucunya diklaim bahwa tanah tersebut tidak pernah dijual oleh leluhurnya. Bahkan tidak jarang tanah yang sudah lengkap surat kepemilikan tanah masih disengketan oleh yang bersangkutan. ( suku bangsa lampung )
2.     Pelaksanaan adat juga dilaksanakan oleh semua penduduk tidak peduli itu bangsa pendatang. Semua diperlakukan sama. Terkadang oleh suku pribumi setiap rumah suku pendatang diwajibkan membayar uang adat dengan jumlah yang lebih besar daripada suku lampung sendiri, bahkan seringkali yang ditagih hanya suku pendatang tetapi suku lampung tidak.
3.     Suku bangsa pendatang yang mempunyai mobil truk untuk mengangkut komiditi hasil bumi dari satu tempat ke tempat lain harus dikenakan denda karena telah lewat depan rumah suku lampung yang menyebabkan mereka ( suku bangsa lampung ) kaget dan kena debu sehingga rumah mereka menjadi kotor

Masyarakat majemuk seperti Indonesia, bukan hanya beranekaragam corak kesukubangsaan dan kebudayaan sukubangsanya secara horizontal, tetapi juga secara vertikal atau jenjang menurut kemajuan ekonomi, teknologi, dan organisasi sosial-politiklnya (Suparlan 1979). Di atas hanyalah sebagian kecil dari hal – hal negatif yang dialami oleh suku bangsa pendatang atas perlakuan suku bangsa lampung. Stereotip negatif terbentuk yang dapat mengakibatkan adanya konflik kelompok suku bangsa pribumi dan pendatang ( Jaspars & warnaen, 1982:136 ). Hal ini dapat dibuktikan setidaknya telah 4 ( empat ) kali munculnya konflik yang bersifat eskalasi rendah dan masih bisa dikendalikan oleh aparat kepolisian dalam hal ini Polres Lampung Utara antara tahun 2004 - 2007. Bila polisi terlambat saja sampai ke tempat kejadian bisa terjadi seperti di Kalimantan Barat antara suku bangsa Madura ( pendatang ) dan suku bangsa dayak ( pribumi ).

Salah satu yang konflik yang cukup besar terjadi pada tahun 2006, saat itu penulis masih menjabat sebagai kanit resum ( reserse umum ) sat. reskrim polres Lampung Utara. Penyebab konflik yang terjadi saat itu adalah karena ada masyarakat suku pribumi yang ditangkap oleh polisi karena sering meminta – minta uang kepada mobil masyarakat suku bangsa pendatang. Setelah ditangkap tersebut, suku bangsa pribumi mengetahui bahwa informasi tersebut pasti berasal dari masyarakat suku bangsa pendatang yang sedang ( jawa, sunda ), sekitar pukul 17.00 WIB ada beberapa motor suku bangsa pendatang melewati kampung lampung tersebut. Oleh beberapa pemuda lampung menangkap beberapa suku pendatang tersebut dan langsung menyanderanya. Karena melawan orang – orang suku bangsa pendatang tersebut bisa melepaskan diri dan meminta bantuan kepada suku bangsa pendatang. Jadi saat itu yang disandera hanya motornya saja. Suku bangsa ini langsung mau menyerang ke kampung lampung tersebut hendak melepaskan motor yang disandera tersebut namun dapat ditahan oleh babinkamtibmas di jembatan penghubung antara kedua desa tersebut. Saat itu pak camat berusaha melerai dengan mencoba berbicara dengan masa dari suku bangsa pendatang namun hal tersebut langsung diejek dan diolok – olok oleh suku bangsa pendatang. Hal tersebut sia – sia saja karena pak camat ini berasal dari suku bangsa pribumi dan menurut informasi dari beberapa warga bahwa pak camat ini sering lebih memihak kepada suku bangsanya walaupun suku bangsanya itu salah. Dapat kita lihat bahwa rasa kesukubangsaan lebih tinggi dari rasa kebangsaan ( tidak menghormati aparat pemerintah ).

Kejadian di atas adalah luapan dari rasa yang sudah lama ditahan oleh masyarakat suku bangsa pendatang ( jawa dan sunda ) atas perlakuan suku bangsa lampung. Stereotip yang muncul dan hidup secara permanen dalam kehidupan bermasyarakat dari suku bangsa lampung dan suku bangsa pendatang membuat hal ini merupakan katalisator dari sebuah konflik. Sampai – sampai ada sebuah kampung suku bangsa pendatang di kecamatan abung timur yang menolak masuknya suku bangsa lampung ke kampung mereka dengan alasan apapun. Kalau hal ini sudah terjadi membutuhkan kehadiran polisi untuk melakukan pembinaan – pembinaan dan pendekatan baik kepada warga suku bangsa pendatang di kampung tersebut ataupun suku bangsa pribumi.

Dalam hubungan suku bangsa lampung dan suku bangsa pendatang di lampung utara kec. Abung timur ini, stereotip negatif adalah katalisator timbulnya konflik konflik dengan kekerasan. Apabila konflik kekerasan ini terjadi, maka akan menyisakan ironi dan tragedi. Kekerasan yang terjadi dalam rentang waktu yang lama menjadikannya sebagai perilaku yang seolah wajar dan bahkan terinstitusional. Akibatnya ada mata rantai kekerasan yang semakin sulit untuk diputuskan. Karena perasaan masing – masing pihak adalah korban memicu dendam yang jika ada kesempatan akan dibalaskan melalui jalan kekerasan juga. Trauma komunal ini akan menimbulkan luka yang mendalam dan menyakitkan. ( lihat kerusuhan kalimantan barat, jakarta tahun 1999 ).


Dalam bentuknya sebagai negara yang terdiri dari beribu – ribu pula yang masyarakatnya sangat majemuk, pemerintah dan masyarakat indonesia dari berbagai komponen harus mampu untuk mengelola kemajemukan tersebut agar menjadi modal kehidupan berbangsa dan bernegara. Masyarakat majemuk yang tersusun oleh keragaman kelompok etnik (etnic group) atau suku bangsa beserta tradisi-budayanya itu, tidak hanya berpeluang menjadikan Indonesia sebagai negara yang kuat di masa mendatang, tetapi juga berpotensi mendorong timbulnya konflik sosial yang dapat mengancam sendi-sendi integrasi negara-bangsa (nation-state), jika dinamika kemajemukan sosial-budaya itu tidak dapat dikelola dengan baik.

Sebagai unsur pembentuk sistem sosial masyarakat majemuk, kelompok-kelompok etnik memiliki kebudayaan, batas-batas sosial-budaya, dan sejumlah atribut atau ciri-ciri budaya yang menandai identitas dan eksistensi mereka. Kebudayaan yang dimiliki kelompok etnik menjadi pedoman kehidupan mereka dan atribut-atribut budaya yang ada, seperti adat-istiadat, tradisi, bahasa, kesenian, agama dan paham keagamaan, kesamaan leluhur, asal-usul daerah, sejarah sosial, pakaian tradisional, atau aliran ideologi politik menjadi ciri pemerlain atau pembeda suatu kelompok etnik dari kelompok etnik yang lain. Kebudayaan dan atribut sosial-budaya sebagai penanda identitas kelompok etnik memiliki sifat stabil, konsisten, dan bertahan lama.
Konflik yang berwujud wilayah rusuh di Indonesia merupakan akumulasi dari kerapuhan persatuan dan kesatuan warga masyarakat heterogen dalam satuan-satuan wilayah kebudayaan dengan kepentingan konspirasi kelompok-kelompok tertentu di dalam negeri serta pihak asing. Kepentingan itu dilaterbelakangi tujuan politik, ekonomi dan agama.

Upaya itu tidak akan mencapai sasaran puncak kalau ditingkat elit dan pelaksana pihak keamanan dan birokrasi mayoritas masih memiliki ketegasan dengan bentuk negara kesatuan sehingga serius memperkecil zona konflik dan kefatalan pelbagai dampaknya. Penanganan masalahnya harus dimulai dari memberikan suatu tindakan yang tidak diskriminatif kepada suatu suku bangsa tertentu dan berusaha menjalin komunikasi yang baik antara suku bangsa pendatang serta suku bangsa pribumi.

Adanya banyak masalah yang timbul kalau penanganan masalahnya kesukubangsaan dimulai setelah ada korban yang sudah meninggal. Perlu peran aktif aparat keamanan dalam hal ini polisi dalam upaya menghidupkan pranata – pranata adat masing – masing – masing suku bangsa sehingga setiap masalah dapat diselesaikan tanpa menyebabkan masalah.

DAFTAR PUSTAKA

Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0001/11/opini/arke45.htm
www.wikipedia.org / wiki / konflik
www.kompas.com
www.scripps.ohiou.edu/news/cmdd/artikel_ps2.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Saran dan Masukan dari pembaca sangat kami harapkan